Home » » tokoh maha barata

tokoh maha barata

Written By Unknown on Saturday, July 30, 2011 | 12:10 AM

Srikandi

Srikandi
Srikandi dalam bentuk wayang kulit buatan Kaligesing Purworejo,
koleksi Tembi Rumah Budaya. (Foto: Sartono)

Nama lengkapnya adalah Dewi Wara Srikandi. Ia adalah anak ke dua dari Prabu Durpada Raja Pancalaradya. Srikandi adalah wanita pemberani dan cekatan. ia sangat pandai memainkan panah. Kepandaiannya berolah senjata panah tersebut didapatkan dari Arjuna, dalam kisah Srikandi Ajar Manah.

Ketika dewasa Srikandi dilamar oleh Prabu Jungkung Mardeya raja dari Paranggubarja tetapi Srikandi menolaknya karena ia lebih mencintai Arjuna.
Arjuna pun jatuh cinta kepada Srikandi muridnya, dan kemudian melamar Srikandi. Walaupun Srikandi diam-diam telah jatuh cinta kepada Arjuna gurunya, ketika dilamar Srikandi tidak menerima begitu saja lamaran Arjuna, melainkan mengajukan dua syarat kepada Arjuna. Syarat yang pertama Arjuna harus bisa membangun taman Maerakaca. Syarat yang ke dua, Arjuna harus dapat mencarikan sosk wanita yang dapat mengalahkan dirinya.
Untuk memenuhi permintaan Srikandi Arjuna mengajukan isterinya yaitu Dewi Larasati. Dewi Larasati ini sangat mahir memainkan senjata panah karena sudah dilatih oleh Arjuna. Perhitungan Arjuna tepat, Larasati dapat mengalahkan Srikandi. Setelah kedua syarat tersebut dipenuhi Dewi Wara Srikandi bersedia menjadi isteri Arjuna.
Setelah bergabung dengan Pandawa dan resmi menjadi isteri Arjuna Srikandi menjadi salah satu senopati andalan negara Amarta. Ia mendapat tugas mengamankan seluruh penghuni kasatrian Madukara, tempat tinggal keluarga besar Arjuna.
Tetapi sayang, sebagai wanita Srikandi tidak menurunkan anak dari Arjuna.
Dalam perang Baratayuda Srikandi adalah satu-satunya senopati wanita dari pihak Pandawa. waktu itu ia melawan Senopati Hastinapura yang saktimandraguna yaitu Resi Bisma. Dalam perang tanding Srikandi berhasil mengalahkan Resi Bisma.
Herjaka HS

Abimanyu (2)

Abimanyu 2
Abimanyu dalam wujud wayang kulit purwa buatan Kaligesing Purworejo,
koleksi Tembi Rumah Budaya (foto: Sartono)

Abimanyu telah memenangkan sayembara. Dewi Utari yang disayembarakan berhasil digendong Abimanyu. Paserta sayembara yang terdiri dari para raja dari seribu negara tidak ada yang kuat menggendong Dewi Utari. Hal tersebut dikarenakan di dalam pribadi Dewi Utari telah singgah babone ratu atau induknya raja yang bernama wahyu Widayat. Bagi seorang wanita yang mendapatkan wahyu Widayat ia akan menurunkan seorang raja. Oleh karena wahyu Widayat yang bersemayam tersebut, Dewi Utari menjadi sosok pribadi yang berbobot dan bernilai tinggi. Tidak sembarang orang mampu mengimbangi bobot nilainya, termasuk raja dari seribu negara. Kecuali Abimanyu tentunya.

Kemampuan Abimanyu dapat mengimbangi Dewi Utari dan kemudian menggendongnya dikarenakan ada wahyu Cakraningrat yang bersemayam di dalam pribadi Abimanyu. Wahyu Cakraningrat adalah wahyu yang dapat mengantar seseorang menjadi raja atau menurunkan raja. Abimanyu telah mendapatkan wahyu Cakraningrat karena ia tekun menjalani laku tapa. Oleh karenanya ia kuat menggendong Dewi Utari.
Memang sudah menjadi kehendak Jawata bahwa Wahyu Cakraningrat bersatu dengan wahyu Widayat. Maka kemudian Abimanyu dan Dewi Utari diresmikan menjadi pasangan suami isteri yang diharapkan bakal menurunkan raja.
Sebelum mereka berjanji setia, Dewi Utari bertanya kepada Abimanyu. Apakah Kakanda Abimanyu masih sendirian, dan belum pernah menikah? atas pertanyaan Dewi Utari tersebut seketika Abimanyu terdiam, tidak segera dapat menjawab. Walaupun Abimanyu telah berhasil menggendong Dewi Utari, Abimanyu tidak mempunyai keberanian untuk berkata yang sesungguhnya bahwa Abimanyu telah menikah dengan Dewi Siti Sundari anak Prab Kresna. Abimanyu takut jika Dewi Utari mengetahui hal tersebut, ia akan mengurungkan niatnya dan menolak dirinya menjadi suaminya. Atas pertimbangan itulah maka kemudian Abimanyu dengan tegas mengatakan dan menyatakan bahwa ia belum pernah menikah.
Dewi Utari sangsi atas pernyataan Abimanyu, karena ia mendengar kabar bahwa Abimanyu telah pernah menikah. Sumber yang dapat dipercaya mengatakan dengan jujur bahwa isteri Abimanyu adalah Dewi Siti Sundari. Abimanyu mengelak dengan gusarnya. Ia berusaha keras untuk menyembunyikan kejujuran. Sungguh aku berkata dengan jujur bahwa aku belum pernah mempunyai isteri, selain dirimu, kata Abimanyu. Dewi Utari belum percaya. Abimanyu semakin gusar dan bingung.
Pada puncak kegusarannya Abimanyu menyatakan sumpah dihadapan Dewi Utari dan alam semesta. Aku bersumpah, jika aku sudah beristeri kelak aku akan mati dalam aniaya yang nista. Alam seakan menggelegar mendengar sumpah Abimanyu. Dewi Utari ketakutan akan sumpah Abimayu. Ia kemudian mendekap Abimanyu erat-erat. Takut kehilangan Abimanyu. Dewi Utari menyadari bahwa dirinya telah jatuh cinta kepada Abimayu. Oleh karenanya ia tidak lagi mempermasalahkan apakah Abimanyu sudah beristeri atau belum. Yang didambakan bahwa mulai sekarang Abimanyu menjadi miliknya dan menjadi suami satu-satunya, tidak ada isteri lain bagi Abimanyu selain dirinya.
Pasangan Abimanyu dan Dewi Utari diharapakan oleh para tetua negeri baik negeri Amarta maupun negeri Wirata bakal menurunkan raja besar yang akan merajai di sebuah negara yang besar pula.
Herjaka HS

Abimanyu (1)

Abimanyu
Wayang kulit purwa tokoh Abimanyu koleksi Tembi Rumah Budaya buatan Kaligesing
Purworejo (foto: Sartono)

Abimanyu (1)

Abimanyu lahir dari Dewi Sembadara, isteri Arjuna. Diantara anak-anak Arjuna, Abimanyu anak yang paling disayangi. Tidak hanya disayangi oleh Arjuna dan Sembadra sebagai orang tuanya, tetapi juga disayangi oleh kerabat Pandawa. Ia disiapkan menjadi raja, dikarenakan Abimanyu adalah satu-satunya keturunan Pandawa yang mendapat wahyu raja yaitu wahyu Cakraningrat.
Abimanyu digambarkan sebagai satria yang tampan, sakti, pemberani, pendiam tetapi mudah marah dan ringan tangan. Jika sedang marah tidak ada yang berani mendekat, karena sangat berbahaya. Oleh sebab itu ia dinamakan Abimanyu yang artinya Abi = dekat dan manyu = marah.
Ketika masih remaja ia pernah membela dan melindungi ibunya dari ancaman Prabu Angkawijaya raja negara Plangkawati yang ingin memperisteri Dewi Sembadra. Abimanyu berhasil mengalahkan Prabu Angkawijaya. Sejak saat itu kerajaan Plangkawati dikuasai oleh Abimanyu. Rakyat Plangkawati menganggap Abimanyu sebagai pengganti Prabu Angkawijaya. Oleh karenanya mereka menyebut Abimanyu dengan nama Angkawijaya.
Setelah dewasa Abimanyu menikah dengan Dewi Siti Sundari anak Prabu Kresna. Namun sayang Siti Sundari mandul sehingga tidak mempunyai keturunan. Prabu Kresna merasa ikut bersalah atas perkawinan Abimanyu dan Angkawijaya yang ternyata anaknya tidak dapat mengandung dan melahirkan benih raja dari Abimanyu. Karena pada mulanya Kresna telah merekayasa perkawinan antara Abimanyu dengan Siti Sundari agar kelak anak keturunannya Siti Sundari dapat menjadi raja di tanah Jawa.
Untuk menebus kesalahannya Kresna menganjurkan agar Abimanyu memperisteri Dewi Utari yang mempunyai wahyu ratu yaitu wahyu Widayat. Maka kemudian ketika ada sayembara di negara Wirata, Abimanyu disarankan mengikutinya. Sayembara yang digelar Prabu Matswapati raja Wirata tersebut adalah barang siapa kuat menggendhong Dewi Utari putri raja Prabu Matswapati, berhak memperisteri Dewi Utari.
Ribuan peserta mengikuti sayembara tersebut, tetapi tidak ada yang kuat menggendong Dewi Utari. Hal tersebut dikarenakan Dewi Utari telah mendapatkan wahyu Widayat, yang adalah wahyu ratu. Satu-satunya orang yang kuat menggendong wahyu Widayat yang telah manuksma atau menjadi satu raga dan suksma dengan Dewi Utari adalah wahyu Cakraningrat yang telah manuksma di dalam diri Abimanyu. Maka sayembara dimenangkan oleh Abimanyu. Wahyu Widayat bersatu dengan wahyu Cakraningrat, Utari bersatu dengan Abimanyu dan melahirkan Parikesit yang kelak menjadi raja Hastina sesudah perang Baratayuda.
herjaka HS

Antasena

Antasena
Antasena,
wayang kulit purwa corak Kaligesing Purworejo, koleksi Tembi Rumah Budaya (foto: Sartono)

Antasena adalah anak ke tiga Raden Wrekudara atau Raden Bimasena yang berpasangan dengan Dewi Urang Ayu anak Begawan Mintuna. Ada beberapa nara sumber yang menyebutkan bahwa Dewi Urang Ayu adalah anak Sang Hyang Baruna penguasa laut.

Kisah kelahiran Antasena bermula ketika Pandawa yang berjumlah lima orang dan Kurawa yang berjumlah 100 orang sedang berlomba menggali sungai dari Kurujenggala, sebelah utara keraton Hastinapura hingga menyambung ke Sungai Gangga. Begawan Mintuna tergerak hatinya melihat Pandawa yang hanya 5 orang tak sebanding dengan Kurawa yang berjumlah 100 orang. Oleh karena rasa iba, Begawan Mintuna mengerahkan puluhan ribu anak buahnya yang berupa belut dan ketam, untuk membantu Pandawa. Dengan bantuan itu proses penggalian sungai yang di lakukan Pandawa berjalan lancar dan dengan cepat menyambung ke Sungai Gangga. Sungai hasil galian Pandawa diberi nama sungai Serayu. Sedangkan penggalian sungai yang dilakukan oleh para Kurawa tertinggal jauh. Bahkan Kurawa salah sasaran. Penggalian sungai yang seharusnya disambungkan ke Sunggai Gangga malahan disambungkan ke Sungai Serayu buatan Pandawa. Maka Resi Bisma yang menjadi penggagas perlombaan menyatakan Pandawa sebagai pemenang.
Keberhasilan Pandawa tak lepas dari bantuan Begawan Mintuna. Selanjutnya Begawan Mintuna berkenan mengambil menantu Bimasena untuk dijodohkan dengan Dewi Urang Ayu putrinya, dan kemudian melahirkan anak laki-laki yang diberi nama Antasena.
Sesuai dengan harapan orang tua, nama Antasena mengandung makna: a berarti tidak, anta berarti batas, dan sena artinya prajurit atau perwira. Dimaksudkan agar Antasena menjadi seorang perwira perajurit yang mempunyai kemampuan tak terbatas. Antasena bertempat tinggal di kasatrian Randu Kumbala. Ketika masih bayi Antasena pernah dijagokan oleh dewa untuk melawan Prabu Kalarudra dari Kerajaan Giri Kedasar. Dalam pertempyran tersebut Antasena berhasil mengalahkan Prabu Kalarudra. Atas jasanya Antasena diberi kerajaan Giri Kedasar dan Begawan Mintuna diangkat menjadi dewa.
Antasena adalah satria yang agak bengal tetapi jujur dan pembela kebenaran. Sebagai cucu dewa penguasa laut Antasena memiliki pusaka sangat sakti berupa sungut yang berada dikepala seperti sungut udang. Antasena juga dappat hidup di dalam air karena dengan sendirinya mendapat kesaktian dari kakeknya.
Demi mengasah ketajaman batinnya pada usia dewasa Antasena pernah melakukan tapa dengan gelar Begawan Curiganata, seperti gelar yang dipakai oleh Baladewa.
Sebelum perang Baratayuda Antasena dan Wisanggeni saudaranya menghadap Sang Hyang Wenang untuk menanyakan peran apa yang bakal mereka jalankan pada perang Baratayuda. Sang Hyang Wenang bersabda bahwa Antasena dan Wisanggeni saudaranya tidak mendapatkan peran apa-apa. mereka masing-masing tidak tampil sebagai senapati, karena ia telah mati sebelum perang terjadi. Kematian Antasena dan Wisanggeni adalah mati mukswa yaitu dengan jalan memandang mata Sang Hyang Wenang sehingga tubuhnya mengecil dan kemudian hilang tidak terlihat.
herjaka HS

Destarastra

Destarastra
Destarastra wayang kulit purwa buatan Kaligesing Purworejo, koleksi Tembi Rumah Budaya
(foto: Sartono)

Aku adalah anak sulung Prabu Kresna Dwipayana atau Begawan Abiyasa raja Hastinapura, lahir dari seorang Ibu bernama Dewi Ambika putri dari negara Giyantipura atau negara Kasi. Sejak lahir aku mempunyai cacat netra, tidak dapat melihat atau buta. Aku mempunyai dua adik dari ibu yang berbeda yaitu Pandudewanata dan Yamawidura.

Walaupun aku cacat, aku memiliki mantra sakti Aji Lebur Saketi yang sangat ditakuti lawan. Apabila mantra Aji Lebur Saketi aku baca maka semua benda yang aku pegang akan hancur menjadi debu.
Nama lain dari Destarastra adalah Raden Kuru. Ia bertempat tinggal di Kadipaten Gajahoya. Isterinya bernama Dewi Gendari putri Prabu Keswara dari Plasajenar atau Gandaradesa.
Perkawinan Destarastra dengan Gendari ini adalah atas kebaikan Pandudewanata adiknya, yang waktu itu memenangkan sayembara dengan memboyong tiga putri. Satu dari ketiga putri boyongan tersebut diberikan kepada Destarastra. Dari perkawinan dengan Dewi Gendari putri boyongan tersebut Destarastra dikaruniai seratus orang anak laki-laki dan ditambah satu anak perempuan, yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan Kurawa. Dari seratus anak, yang lahir sulung merupakan anak istimewa. Istimewa karena ketika lahir bayi tersebut mempunyai badan yang paling besar, berkulit kuning dan tangisnya seperti serigala. Ia diberi nama Duryudana.
Pada akhir hayatnya, Destarastra mati tertimbun beteng bersama isterinya, dan tanpa sengaja diinjak-injak oleh seratus anaknya. Peristiwa tersebut terjadi pada awal perang Baratayuda, pada saat cerita Kresna duta.
Ada versi lain yang mengatakan bahwa matinya Destarastra pada waktu perang Baratayuda sudah selesai, yaitu ketika Destarastra bersama Gendari isterinya bertapa di hutan. Tiba-tiab hutan terbakar dan mereka berdua mati bersama.
herjaka HS

Antareja

Antareja
Wayang kulit purwa Antareja buatan Kaligesing Purworeja, koleksi Tembi Rumah Budaya (foto: Sartono)
Raden Antareja atau Anantareja, juga mempunyai sebutan lain yaitu Nagabaginda dan Rupatala. Ia adalah anak Bimasena buah perkawinannya dengan Dewi Nagagini putri cantik anak Sang Hyang Antaboga, dewa penguasa Kahyangan Sapta Pertala. Letak kahyangan ini di dasar bumi lapisan ketujuh. Oleh karenanya dinamakan Kahyangan Sapta Pertala yang artinya Sapta = tujuh dan Pertala = bumi atau tanah.
Antareja tinggal di kasatriyan Jangkarbumi. Ia adalah sosok pemuda tampan tetapi badannya memiliki sisik seperti ular. Hal tersebut dikarenakan Hyang Antaboga ayah dari Antareja merupakan Dewanya ular, yang mempunyai dua wujud, yaitu kadang berujud Dewa dan kadang berujud ular naga yang menakutkan. Untuk wujud yang kedua ini terutama jika Antaboga sedang marah.
Antareja terkenal sangat sakti. Ia memilki pusaka andalan yang berupa upas atau bisa mematikan. Musuh yang terkena semburan upas atau bisa pasti mati. Bahkan Antareja dapat mencelakai atau membunuh musuh dari jarak jauh, hanya dengan menjilat bekas jejak telapak kaki musuh.
Dengan kesaktian seperti itu, Antareja ditakuti lawan dan disegani kawan. Namun sayang, karena kesaktiannya Antareja terpaksa disingkirkan sebelum perang Baratayuda. Tragis memang kisah ini, Antareja sengaja disingkirkan bukan oleh musuhnya tetapi oleh Prabu Kresna yang menjadi botoh perang Baratayuda, yang seharusnya membotohi para Pandawa dan anak-anak Pandawa, termasuk Antareja.
Mengapa Kresna sampai hati membunuh Antareja yang masih keponakannya sendiri? Karena Kresna tahu isi kitab Jitabsara, yaitu kitab yang berisi skenario perang Baratayuda, bahwa pada perang Baratayuda Antareja diangkat menjadi senopati perang barisan Pandawa untuk menandingi Prabu Baladewa senopati perang barisan Kurawa. Jika perang tanding antara Antareja dan Prabu Baladewa benar-benar terjadi, dapat dipastikan bahwa Prabu Baladewa akan kalah dan gugur. Kresna sangat takut kehilangan orang yang sangat dicintainya yaitu Prabu Baladewa, kakaknya. Maka jika Antareja tidak dibunuh sebelum perang baratayuda, Kakaknyalah yang akan gugur di medan perang. Dan benarlah Antareja mati sebelum perang Barayuda meletus, karena tipu daya Prabu Kresna untuk menjilat jejak kakinya sendiri.
Antareja meninggalkan satu isteri yang bernama Dewi Ganggi, anak Ganggapranawa. raja ular dari negeri Tawingnarmada dan satu anak laki-laki yang diberi nama Jayasena.
herjaka HS

Salya

Salya
Prabu Salya, wayang kulit koleksi Tembi Rumah Budaya (foto: Sartono)
Jejaka muda yang bernama Narasoma adalah putra Prabu Mandrapati raja dari Negara Mandraraka atau Madras. Ia adalah sosok pemuda yang cerdas dan berilmu tinggi. Walaupun ia mempunyai watak suka pamer, rakyat Mandaraka memakluminya, karena memang pada diri Narasoma banyak hal yang dapat dipamerkan, termasuk juga ketampanannya. Ia diangkat menjadi putra mahkota dan disiapkan menjadi raja Negara Mandraraka. Selain Narasoma, Prabu Mandrapati mempunyai anak perempuan bernama Dewi Madrim. Narasoma sangat menyayangi adiknya, demikian juga Dewi Madrim sangat manja kepada kakaknya.
Pada suatu siang, ketika sedang dalam perjalanan bersama adiknya, Narasoma dicegat oleh seorang pandeta berjubah putih, bermuka buruk seperti raksasa. Pendeta tersebut mengaku bernama Bagaspati dari pertapaan Hargabelah dan berniat mengambil menantu Narasoma untuk dijodohkan kepada Dewi Setyawati putrinya. Hal tersebut dilakukuan oleh Bagaspati karena ciri-ciri yang ada pada Narasoma sesuai dengan ciri-ciri ksatria yang menemui putrinya di dalam mimpi. Narasoma menolaknya karena mempunyai anggapan bahwa putri Begawan Bagaspati buruk rupa seperti bapaknya.
Demi menuruti permintaan putri satu-satunya yang sangat dikasihi, Begawan Bagaspati terpaksa menggunakan cara paksa untuk membawa Narasoma ke hadapan putrinya. Narasoma mencoba melawan Bagaspati. Namun ternyata kesaktian Narasoma tidaklah banyak berarti berhadapan dengan Bagaspati. Dengan tidak membutuhkan waktu lama Bagaspati dapat menguasai sepenuhnya Narasoma, dan membawanya ke pertapaan Hargobelah.
Sesampainya di Hargobelah bersama dengan Setyawati adiknya, Narasoma dipertemukan dengan Dewi Setyawati. Tidak seperti yang dibayangkan Narasoma, ternyata Dewi Setyawati sangat cantik jelita. Narasoma jatuh hati pada pandangan pertama. Dewi Madrim adiknya mendesak agar Narasoma segera meminang Dewi Setyawati. Namun sayang, sifat sombong dan suka pamer yang dimiliki Narasoma menghalangi cintanya kepada Dewi Setyawati. Narasoma enggan untuk meneruskan cintanya karena malu mempunyai mertua yang buruk muka.
Dewi Setyawati bersedih, gara-gara orang tuanya yang berwajah raksasa, pujaan hatinya tidak mau meminang dirinya. Bagaspati mengetahui kesedihan putrinya. Oleh karenanya ia rela mengorbankan dirinya demi kebahagiaan putrinya terkasih. Maka diberikannya hidupnya dan sekaligus mantram sakti aji Candrabirawa kepada Narasoma asalkan Narasoma mau mensunting putrinya.
Pada saat mengakhiri hidupnya Bagaspati masih diperkenankan menyaksikan kebahagiaan putrinya di pelaminan berdampingan dengan pujaan hatinya Narasoma.
Narasoma memboyong Dewi Setyawati di negara Mandaraka. Setelah menjadi raja Narasoma memakai gelar Prabu Salya. Sebagai penghargaan kepada mertuanya yang rela mengorbankan dirinya dan memberikan aji Candrabirawa, Prabu Salya mengangkat Dewi Setyawati menjadi satu-satunya prameswari dan berjanji akan setia pada pasangannya sampai mati.
Pasangan Salya dan Setyawati dianugerahi lima anak yakni: Dewi Erawati, Dewi Surtikanti, Dewi Banowati, Raden Burisrawa dan Raden Rukmarata.
herjaka HS

Destarastra

Destarastra
Destarastra wayang kulit purwa buatan Kaligesing Purworejo, koleksi Tembi Rumah Budaya
(foto: Sartono)
Aku adalah anak sulung Prabu Kresna Dwipayana atau Begawan Abiyasa raja Hastinapura, lahir dari seorang Ibu bernama Dewi Ambika putri dari negara Giyantipura atau negara Kasi. Sejak lahir aku mempunyai cacat netra, tidak dapat melihat atau buta. Aku mempunyai dua adik dari ibu yang berbeda yaitu Pandudewanata dan Yamawidura.
Walaupun aku cacat, aku memiliki mantra sakti Aji Lebur Saketi yang sangat ditakuti lawan. Apabila mantra Aji Lebur Saketi aku baca maka semua benda yang aku pegang akan hancur menjadi debu.
Nama lain dari Destarastra adalah Raden Kuru. Ia bertempat tinggal di Kadipaten Gajahoya. Isterinya bernama Dewi Gendari putri Prabu Keswara dari Plasajenar atau Gandaradesa.
Perkawinan Destarastra dengan Gendari ini adalah atas kebaikan Pandudewanata adiknya, yang waktu itu memenangkan sayembara dengan memboyong tiga putri. Satu dari ketiga putri boyongan tersebut diberikan kepada Destarastra. Dari perkawinan dengan Dewi Gendari putri boyongan tersebut Destarastra dikaruniai seratus orang anak laki-laki dan ditambah satu anak perempuan, yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan Kurawa. Dari seratus anak, yang lahir sulung merupakan anak istimewa. Istimewa karena ketika lahir bayi tersebut mempunyai badan yang paling besar, berkulit kuning dan tangisnya seperti serigala. Ia diberi nama Duryudana.
Pada akhir hayatnya, Destarastra mati tertimbun beteng bersama isterinya, dan tanpa sengaja diinjak-injak oleh seratus anaknya. Peristiwa tersebut terjadi pada awal perang Baratayuda, pada saat cerita Kresna duta.
Ada versi lain yang mengatakan bahwa matinya Destarastra pada waktu perang Baratayuda sudah selesai, yaitu ketika Destarastra bersama Gendari isterinya bertapa di hutan. Tiba-tiab hutan terbakar dan mereka berdua mati bersama.
herjaka HS
Sumber : tembi.org

Karna (2)

Karna (2)
Karna, wayang kulit purwa koleksi Tembi Rumah Budaya buatan Kaligesing (foto: Sartono)
Cerita selanjutnya mengenai diriku aku dapatkan dari Bapa Adirata seorang sais kereta kraton Hastinapura, sewaktu pemerintahan Prabu Kresna Dwipayana dan Prabu Pandudewanata.
Pada suatu pagi, ketika Adirata sedang membasuh badannya di Sungai Gangga, ia terkejut melihat dari kejauhan sebuah benda yang berkilau-kilau. Tanpa pikir panjang Adirata berenang menyongsong benda tersebut. Lebih terkejut setelah diketahui bahwa benda berujud peti kecil terbuka yang dinamakan gendaga tersebut berisi bayi mungil yang memakai pakaian perang yaitu Kotang Kerei Kaswargan, semacam baju Zirah dan Anting Mustika. Dengan raut muka berbinar-binar, Adirata memondong gendaga dan bergegas membawanya pulang. Adirata menjadi tidak sabar untuk segera mengabarkan kabar sukacita ini kepada Rada isterinya.
Bagaiakn kejatuhan rembulan sepasang suami isteri setengah baya tersebut mendapatkan bayi yang selama ini didamba. Apalagi bayi tersebut bukanlah bayi sembarangan, jika dilihat dari kedua benda yang melekat di tubuhnya dan perlengkapan yang disertakan.
Adirata dan Rada merawat bayi yang ditemukan dengan ketulusan dan kasih sayang. Selain bernama Karna sesuai dengan tulisan yang disertakan, bayi tersebut kemudian diberi nama Wasusena karena waktu diketemukan memakai pakaian perang. Sedangkan orang-orang disekitarnya menyebut Karna dengan nama panggilan Radeya yang artinya anak dari Nyai Rada.
Karna tumbuh menjadi anak yang cerdas berani dan jujur. Adirata dan Nyai Rada bangga karenanya. Setelah menginjak dewasa, Karna sering berpetualang sendirian. Belajar ilmu ke sana-kemari. Ketika pada suatu waktu Karna lewat di Sokalima, ia kepengin sekali bergabung dengan para Kurawa dan para Pandawa untuk bersama-sama berguru kepada Durna. Tetapi keinginannya tidaklah mungkin kesampaian, dikarenakan Karna bukanlah termasuk golongan ksatria. Ia hanyalah anak seorang sais kereta. Anak seorang sais kereta pantasnya juga menjadi sais kereta. Pemahaman seperti itulah yang ada pada Adirata, maka kemudian diberikanlah sebuah kereta kuda agar dipakai Karna untuk belajar menjadi sais.
Walaupun hal tersebut tidak sesuai dengan gejolak jiwa yang ada, Karna tidak menolaknya, malahan kereta kuda pemberian Adirata tersebut dijadikan alat untuk latihan perang-perangan. Usaha Karna untuk mendapatkan ilmu-ilmu tingkat tinggi tidak pernah berhenti hanya karena tidak diperkenankan bergabung menjadi satu perguruan dengan para ksatria Pandawa dan Kurawa. Karna tetap gigih berusaha untuk mendapatkan guru sakti yang tidak kalah jika dibandingkan dengan kesaktian Durna. Karena usahanya yang tak berkesudahan, Karna akhirnya menemukan guru sakti yang ahli bermain senjata Kapak dan senjata panah, yang bernama Rama Parasu. Namun dikarenakan Rama Parasu mempunyai dendam pribadi kepada seorang ksatria, dan tidak mau menerima murid seorang ksatria. Maka Karna menyamar menjadi seorang brahmana dan berguru kepada Rama Parasu.
Dengan menyamar sebagai brahmana Karna diterima menjadi murid Rama Parasu. Ilmu-ilmu yang diajarkan diserapnya dengan cepat dan tuntas. Tidak lama kemudian Karna telah menjelma menjadi seorang remaja yang mempunyai ilmu tingkat tinggi, yang tidak kalah jika dibandingkan dengan ilmu para ksatria Pandawa dan Kurawa.
herjaka HS
Sumber : http://tembi.org

Karna (1)

Karna (1)
Karna, wayang kulit purwa koleksi Tembi Rumah Budaya buatan Kaligesing (foto: Sartono)
Aku dilahirkan dari seorang ibu yang bernama Dewi Kunthi atau Dewi Prita, anak Prabu Basukunti alias Kuntiboja raja negara Mandura. Menurut cerita yang aku terima dari ramanda Batara Surya, aku dilahirkan melalui telinga, oleh karenanya aku diberi nama Karna yang artinya telinga. Aku sendiri juga heran dan bertanya-tanya, benarkah aku dilahirkan melalui telinga Ibu Kunti? Sungguh ajaib. Bagaimana hal itu bisa terjadi? untuk memenuhi rasa ingin tahuku, Ramanda Batara Surya menceritakan peristiwa seputar kelahiranku. Diceritakan bahwasanya Ibu Kunthi adalah sosok wanita yang cantik jelita, cerdas, luwes, patuh dan sabar. Oleh karena kelebihannya, Eyang Prabu Basukunti mempercayakan kepada Ibu Kunti untuk melayani tamu-tamu negara.
Pada suatu waktu Negara Mandura kedatangan tamu seorang Begawan sakti yang bernama Begawan Druwasa. Ia sangat puas atas pelayanan Kunti. Sebagai tanda terimakasihnya Begawan Druwasa memberikan kepada Kunti sebuah mantra sakti yang bernama Aji Adityar Hedaya atau Aji Dipamanunggal atau disebut juga Aji Pameling. Mantra sakti tersebut berdayaguna untuk mendatangkan dewa sesuai dengan yang diinginkan.
Selain hal-hal positif yang ada pada sosok Kunthi, ada hal-hal negatif yang dimilikinya, salah satunya adalah kebiasaan bangun siang. Pada suatu hari ketika Kunti bangun tidur, ia tidak dengan serta merta meninggalkan pembaringannya. Ia ingin merasakan keindahan dan merasakan kehangatan sinar matahari yang masuk di kamarnya. Melihat sinar matahari yang mengenai tubuhnya, Kunti membayangkan sosok Batara Surya, dewa rupawan yang menguasai matahari. Tiba-tiba Kunti teringat mantra sakti Aji Pameling pemberian Begawan Druwasa. Sebagai dara belia, ia tergoda untuk mencoba mengetrapkan ajian tersebut. Maka kemudian dibacanya mantra sakti tersebut. Hasilnya sungguh luar biasa. Pada saat selesai membaca mantra Aji Pameling, seusai Kunti mengerdipkan matanya, tiba-tiba di tilamsari tempat Kunti berbaring telah hadir Dewa Surya, Dewa penguasa matahari.
Sosok yang diangankan telah hadir disampingnya, tidak ada lagi yang membedakan antara angan dan kenyataan. Ketika ke duanya hadir dalam waktu yang bersamaan, tidak ada lagi yang menghalangi, keduanya akan menjadi satu. Angan yang menguasai pikiran dan kenyataan yang menguasai raga saling berpuletan erat. Keduanya berada antara alam mimpi dan alam nyata.
Namun pada kenyataan setelah kejadian tersebut Dewi Kunti mengandung. Atas kejadian tersebut Prabu Basukunti marah luar biasa. Ia memanggil Begawan Druwasa untuk meminta pertanggungjawabannya atas pemberian Aji Pameling kepada Kunti yan masih belia. Sesungguhnya yang dilakukan Begawan Druwasa tersebut untuk menolong Kunti. Karena menurut pesan gaib yang diterima Begawan Druwasa, bahwa pada suatu saat nanti Kunti sangat membutuhkan Aji Adityar Hedaya. Namun sayang belum tiba waktunya Kunti telah mencoba mantra aji Pameling kepada Dewa Surya.
Begawan Druwasa tahu resikonya jika seorang dara belia mempunyai aji Pameling. Maka dari itu ia bertanggungjawab atas resiko yang terjadi. Maka ketika usia kandungan Kunti sudah berumur sembilan bulan lebih sepuluh hari, dengan kesaktiannya Begawan Druwasa membantu kelahiran bayi. Dengan mantra saktinya yang menyatakan bahwa Aji Adityar Hedaya yang pada mulanya masuk melalui telinga menuju ke angan Kunti, meresap di hati, di tubuh dan kemudian menggumpal menjadi sosok bayi, akan dikeluarkan melalui telinga pula. Itulah keajaiban. Begawan Druwasa membopong kelahiran bayi yang keluar melalui lobang yang sama seperti ketika pada mulanya benih itu masuk. Dan dinamakan bayi itu Karna, yang berarti telinga.
Upaya melahirkan bayi melalui telinga adalah perwujudan tanggung jawab Begawan Druwasa untuk memulihkan keperawanan Kunti, bahwa Kunti masih gadis, belum beranak. Maka keberadaan bayi tersebut dianggap aib, Oleh karena harus di buang dilarung ke sungai Gangga agar jauh meninggalkan negara Mandura, demikian perintah Prabu Basukunti.
Sebelum Karna dihanyutkan di sungai, ada satu hal yang masih diingat oleh Kunthi bahwa bayi Karna memakai Anting Mustika dan Kotang Kerei Kaswargan pemberian Dewa Surya.
Sejak bayi yang tidak berdosa tersebut dihanyutkan di sungai Gangga nama Karna sengaja dihapus dari negara Mandura. Terbukti Prabu Basukunti menggelar sayembara, bagi siapa saja yang dapat memenangkan sayembara berhak memboyong putri kedhaton Mandura yaitu Dewi Kunti.
Share this article :

0 comments:

English French German Spain Italian Dutch

Russian Portuguese Japanese Korean Arabic Chinese Simplified


 
Support : Your Link | Your Link | Your Link
Copyright © 2013. the matic and tecnologi zainuri 3 - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Modified by CaraGampang.Com
Proudly powered by Blogger